Sabtu, 28 Februari 2015

Katua Yang Tak Disetujui

Bagaimana perasaanu kalau H-4 masuk kuliah, tiba-tiba salah satu temanmu yang menjadi ketua tim PKM nge-message kamu isinya "kamu dimana? ayo garap dokumen" sewaktu kamu baru saja masuk kamar dirumahmu?
Sebel? Gemesin? Pengen nabok? Pengen bentakin tuh ketua sepuasnya? Kalau kamu merasakan seperti itu, sama!
Sumpah rasanya pengen ketemu tuh anak, terus bentakin tuh anak orang sepuasnya! Gimana gak sebel coba kalau bilangnya dadakan gitu? Kenapa gak dari kemaren-kemaren ngajaknya? Kemana aja lu ketua kemaren-kemaren selama ada banyak waktu? HAH?!
NAK NDI AE KON WONG?!
Dan gimana aku gak tambah sebel tuh anak orang balasnya gini: "Aku ya udah lama di s*y ni". Lha itu udah lama di s*y tapi kok gak gerak sama sekali? Jadi males bantuin. Eh bukan males, M U A L L L E S S S S S S S S S S. Ketua macam apa yang kayak gitu? Iya kalau anggotanya ada yang kayak gitu padahal si ketua punya semangat 45, menurutku wajar. Lha ini ketuanya eh. Kalau ketuanya kayak gitu, anggotanya kudu gimana? 

Sabtu, 21 Februari 2015

Impian Yang Tertunda

Hi everybody!
Pernah gak sih kalian dituntut orang tua kalian untuk mempunyai nilai yang bagus dan terus meningkat? Jujur, aku rasa amat sangat susah. Apalagi yang diperantauan. Udah jarang ketemu keluarga, kudu mandiri, ditambah dituntut orang tua mempunyai nilai yang terus meningkat tiap semesternya.
Ada pertanyaan yang selalu menghantui pikiranku, kenapa sih orang tua selalu menuntut anaknya mempunyai nilai yang bagus dan rangking? Tiap kali pulang ke rumah, ayah selalu berkata kepadaku entah pada saat bersama keluarga maupun empat mata, 'Kamu kalau rangking enak kamu. IP kumlout, gampang diterima kerja dimana pun, sukses wes'. Balasanku hanya sebuah senyuman. Kalau gak gitu masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Tau kenapa? Aku selalu stres kalau dituntut terus seperti itu. Bahkan mungkin sampai aku menulis ini pun stresku belum sembuh. Tapi alhamdulillah aku masih sadar.
Dulu, sebelum kuliah, aku pernah protes ke ibuku, 'Kenapa sih harus kuliah? Kenapa gak kursus aja? Atau sekolah musik gitu?'. Bahkan sebelumnya aku ingin masuk jurusan Sastra Indonesia pun tidak boleh. Padahal, yang ngejalanin siapa? Yang tau potensi diriku siapa? Kenapa mereka harus ikut campur? Padahal sebelumnya ortu udah bilang kalau mereka akan membiarkanku memilih jurusan apapun karena aku yang lebih tahu. Tapi kok aku ingin masuk Sastra Indonesia aja gak boleh? Emang salah ya kalau masuk Sastra Indonesia? Padahal aku ingin menjadi penulis seperti Raditya Dika.
Beberapa pekan yang lalu, disalah satu channel televisi, menayangkan 1 jam bersama Asma Nadia. Disitu menceritakan kehidupan mbak Asmarani Rosalba a.k.a Asma Nadia dari  beliau kecil hingga dewasa. Ketika pada saat segment mbak Asma bersama keluarganya, suami dan kedua anaknya, disitu menceritakan bahwa mereka adalah keluarga penulis. Lalu kedua ortuku berkata 'Tuh kan. Menulis itu bakat. Lha ayah-ibu gak ada yang bakat nulis, ya gak bisa kamu jadi penulis'. Seketika itu, miris rasanya. Padahal, bakat itu ada dan terpendam tanpa ada yang tahu. Bakat juga bukan kebiasaan yang biasa dilakukan sehari-hari. Lagian itu kan cita-citaku, apa salahnya sih punya cita-cita jadi penulis? Terus kalau misal ternyata suksesku jadi penulis, bisa bikin buku, yang seneng juga siapa? Yang bangga siapa? Gak harus kok anaknya jadi kayak ortunya meskipun "katanya" buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Yang Tak Terlihat

Hai!
Kini aku sadar, aku bukanlah yang diinginkannya. Bukan.

Ya mungkin dia memang sudah mapan, masa depan cemerlang, tapi satu hal yang harus kau sadari, dia penjahat hati seseorang yang tulus! Sangat tulus! Sampai kau tak memahami ketulusan orang tersebut. Dan kau tidak akan sadar kalau orang tersebut benar-benar tulus.
Mulanya dia akan bersikap baik. Baik sekali sampai kau akan terhipnotis dengan apa yang dilakukannya terhadapmu. Dari sikapnya yang enjoy, perkataannya yang (mungkin) bisa dibilang sangat terbiasa seolah sudah kenal sejak lama, dan kebaikannya yang membuat hatimu meleleh. Kau akan menanamkan benih ketulusan. Kemudian kau akan naik ke lembah. Dan kau akan berharap setinggi-tingginya bahwa ketulusanmu akan sampai ke puncak. Tidak. Itu hanya mimpi. Ya, mimpi. Khayalanmu terlalu tinggi. Jangan gunakan kelebihanmu untuk berpikir yang mustahil.
Asal kau tahu saja, ketika kau berada di lembah ketulusanmu, dia akan menghindar dan terus menghindar sampai kau tidak akan mau dengannya lagi.
Tidak. Tidak sampai puncak. Hanya sampai lembah kau akan diberhentikan oleh ketidakjelasan, penuh tanda tanya, dan mungkin kau akan berpikiran sama denganku, "dia tidak seserius itu". Kau akan merasakan apa yang namanya frustasi, stres, bahkan jika mentalmu rentan, kau akan gila.
Kau memendam ketulusan itu. Mencoba menahannya agar tidak meluap. Tapi kenyataannya? Ketulusan itu akan tumbuh dengan subur dihatimu. Tak dapat kau hindari, sekali pun kau mencoba membunuhnya. Hingga pada akhirnya kau akan disadarkan beberapa orang bahwa "dia tak baik untukmu. itu sudah jelas bahwa dia tidak serius denganmu".
Ketika itu kau akan sadar bahwa benih yang kau tanamkan hanyalah sia-sia. Perlahan ketulusan yang kau tanamkan akan layu. Semakin layu. Dan semakin layu. Hingga pada akhirnya kau semakin sadar "dia tidak baik untukku" dan kau akan benar-benar mencabutnya hingga ke akar.
Kosong sudah lahan itu.
Lalu kau menanamkan benih kepercayaan pada Tuhan YME "suatu hari akan ada orang yg lebih baik darimu. Allah tahu mana yang harus dijadikan pelajaran, mana yang akan menjadi masa depan". Bukan hanya itu, tapi kau juga akan menanamkan benih kesabaran. Kau akan menyiramnya dengan kalimat "astaghfirullah" dan melapangkan dadamu, berpikir positif, serta menggertakkan dirimu "aku bisa! aku harus bisa! aku yakin bisa!!!". Kemudian kau akan menunggu hasil dari benih yang kau tanam. Kau akan ditunjukkan 'dia' yang sebenarnya dan kau akan melihat pula hasil sandiwara yang dia lakukan terhadapmu sebagai karma yang pantas ia dapatkan.

Ketika kamu terjatuh, kamu akan tahu siapa temanmu ^_^

"Ketika kamu sukses, temanmu akan tahu siapa kamu. Ketika kamu jatuh, kamu akan tahu siapa temanmu."
Pernah tahu quote seperti itu? Aku cukup sering menjumpainya di berbagai socmed. Quote tersebut benar banget.
Aku habis terkena musibah. Musibah yang cukup membuatku stres dan aku bingung bagaimana menanggapinya. Hampir 1 minggu yang lalu aku ada sidang KP (kerja praktek). Hampir semua teman-teman sekelasku sudah maju sidang. Semuanya ada 15 kelompok dan yang belum tinggal 2 kelompok, kelompokku dan 1 kelompok lainnya. Kelompok lainnya tidak bisa maju karena partnernya tidak ada kabar. Kelompokku? Aku tidak boleh maju karena tidak pernah bimbingan. Temanku sudah pernah aku ingatkan tapi dianya seperti agak "don't care". Aku sendiri paling gak bisa maksa orang, bisa pun itu tergantung orangnya. Dan akhirnya bingung kan waktu gini? Aku jadi korban, gara-gara temanku seperti itu.
Kemudian aku kena kompen. Kalau di kampusku, kompen itu membayar sejumlah uang gara-gara tidak mengikuti praktikum. Tapi tidak semua dosen mau dibayar seperti itu. Sebagian ada yang menyuruh melakukan sesuatu untuk prodi. Dan kemarin jumat, aku serta 5 mahasiswa lainnya membayarnya dengan membersihkan 2 lab dan urunan 20ribu untuk dibelikan kebutuhan lab dan dosen bersama. Karena memang saya kena kompen, yasudah lakukan saja seikhlasnya. Setelah membersihkan lab, aku ke lab TA, menemani kakak kelasku karena waktu itu dia sendirian. Aku tidak junior sendiri disitu, aku bersama 2 temanku, sebut saja Hera dan Usi. Jadi kita di lab TA hanya berempat. Mulanya kita membahas tentang TA seniorku. Setelah beberapa menit, kami pun terdiam. Lalu Hera memulai pembicaraan lagi dengan kata-kata yang memojokkanku. Dia bilang kalau aku jangan tidur aja dikelas. Padahal, semester 5 ini aku berusaha untuk tidak tidur waktu perkuliahan. Karena pada dasarnya aku sudah tidak suka dengan kata-kata yang dilontarkannya, yaudah aku dengerin aja, tp gk masuk ke otak. Dia hanya tahu apa yang terjadi padaku, tidak dengan apa yang aku lakukan. Mungkin dengan kata lain, Hera mengajak Usi untuk tidak berteman denganku, secara tersirat. Ya silahkan saja merebut teman yang sedang dekat denganku. Aku sudah hapal kelakuanmu. Iya kamu memang anak rumahan, makan lebih teratur, tidur lebih teratur. Aku iri? Sedikit. Aku iri dengan kecerdasanmu dan kebersamaanmu ketika bersama orang tua, tidak dengan sikap dan kata-kata pedas yang kau lontarkan. Asal kamu tahu saja, kalau aku diijinkan untuk tidak melanjutkan kuliah atau diijinkan masuk D3 Multimedia Broadcasting, mungkin aku tidak akan mengenalmu. Tapi tidak apa-apa, kamu hanya kumanfaatkan sebagai pelajaran agar aku bisa lebih baik dari yang kamu tahu. Sekarang mungkin kamu bisa mendapatkan nilai yang bagus sesuai keinginanmu dan memojokkanku seperti itu. Bukan aku tak mau mendapatkan nilai yang bagus, tapi bukankah itu bukan tujuan utama untuk kuliah? Setidaknya meskipun aku agak susah fokus dalam akademik, aku bisa belajar lebih banyak dari yang kamu dapatkan di luar akademik. Yah meskipun kamu gak akan melihatnya dan aku tidak akan menunjukkannya secara langsung, aku gak terlalu perlu dengan penilaianmu kok, orang lain bisa melihatnya disisi yang berbeda. Yang kritik dan sarannya lebih enak didengar meskipun cara penyampaiannya (mungkin) tidak benar menurutmu. Dari pada kritik pedasnya dilontarkan dengan emosi, percuma, tidak akan masuk diotakku.
Dan, menjadi orang positif dengan kecerdasan yang tidak menonjol itu lebih baik daripada orang yang suka mengeluh agar dirinya menonjol (terlihat cerdas), seperti kamu.
Maaf kalau kata-kataku lebih menusuk dari kata-katamu. Karena emosi yang ditunjukkan secara langsung itu menandakan kamu tidak dewasa.
Dan untuk kamu Usi, aku memang bukan teman yang sempurna dan bisa membuatmu selalu bahagia, tapi dengan kelebihan dan kekurangan kita, kita akan menjadi teman yang sempurna.
Kamu itu sebenarnya dewasa, lebih dewasa dari aku malah. Tapi yang kamu perlukan agar dirimu menjadi sosok yang lebih dewasa adalah kamu perlu belajar dari apa yang telah terjadi kepadamu. Bukan hanya masalah yang mendewasakanmu, tapi juga dengan mensyukuri baik-buruk yang menimpamu, kamu akan menjadi sosok yang dewasa.
Karena ya beginilah hidup, terkadang diatas, terkadang pula dibawah. Terkadang pula ketika kamu diatas langsung jatuh kebawah. Terkadang kamu akan jatuh secara perlahan kebawah. Begitu juga sebaliknya.