Hi everybody!
Pernah gak sih kalian dituntut orang tua kalian untuk mempunyai nilai yang bagus dan terus meningkat? Jujur, aku rasa amat sangat susah. Apalagi yang diperantauan. Udah jarang ketemu keluarga, kudu mandiri, ditambah dituntut orang tua mempunyai nilai yang terus meningkat tiap semesternya.
Ada pertanyaan yang selalu menghantui pikiranku, kenapa sih orang tua selalu menuntut anaknya mempunyai nilai yang bagus dan rangking? Tiap kali pulang ke rumah, ayah selalu berkata kepadaku entah pada saat bersama keluarga maupun empat mata, 'Kamu kalau rangking enak kamu. IP kumlout, gampang diterima kerja dimana pun, sukses wes'. Balasanku hanya sebuah senyuman. Kalau gak gitu masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Tau kenapa? Aku selalu stres kalau dituntut terus seperti itu. Bahkan mungkin sampai aku menulis ini pun stresku belum sembuh. Tapi alhamdulillah aku masih sadar.
Dulu, sebelum kuliah, aku pernah protes ke ibuku, 'Kenapa sih harus kuliah? Kenapa gak kursus aja? Atau sekolah musik gitu?'. Bahkan sebelumnya aku ingin masuk jurusan Sastra Indonesia pun tidak boleh. Padahal, yang ngejalanin siapa? Yang tau potensi diriku siapa? Kenapa mereka harus ikut campur? Padahal sebelumnya ortu udah bilang kalau mereka akan membiarkanku memilih jurusan apapun karena aku yang lebih tahu. Tapi kok aku ingin masuk Sastra Indonesia aja gak boleh? Emang salah ya kalau masuk Sastra Indonesia? Padahal aku ingin menjadi penulis seperti Raditya Dika.
Beberapa pekan yang lalu, disalah satu channel televisi, menayangkan 1 jam bersama Asma Nadia. Disitu menceritakan kehidupan mbak Asmarani Rosalba a.k.a Asma Nadia dari beliau kecil hingga dewasa. Ketika pada saat segment mbak Asma bersama keluarganya, suami dan kedua anaknya, disitu menceritakan bahwa mereka adalah keluarga penulis. Lalu kedua ortuku berkata 'Tuh kan. Menulis itu bakat. Lha ayah-ibu gak ada yang bakat nulis, ya gak bisa kamu jadi penulis'. Seketika itu, miris rasanya. Padahal, bakat itu ada dan terpendam tanpa ada yang tahu. Bakat juga bukan kebiasaan yang biasa dilakukan sehari-hari. Lagian itu kan cita-citaku, apa salahnya sih punya cita-cita jadi penulis? Terus kalau misal ternyata suksesku jadi penulis, bisa bikin buku, yang seneng juga siapa? Yang bangga siapa? Gak harus kok anaknya jadi kayak ortunya meskipun "katanya" buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar