"Ketika kamu sukses, temanmu akan tahu siapa kamu. Ketika kamu jatuh, kamu akan tahu siapa temanmu."
Pernah tahu quote seperti itu? Aku cukup sering menjumpainya di berbagai socmed. Quote tersebut benar banget.
Aku habis terkena musibah. Musibah yang cukup membuatku stres dan aku bingung bagaimana menanggapinya. Hampir 1 minggu yang lalu aku ada sidang KP (kerja praktek). Hampir semua teman-teman sekelasku sudah maju sidang. Semuanya ada 15 kelompok dan yang belum tinggal 2 kelompok, kelompokku dan 1 kelompok lainnya. Kelompok lainnya tidak bisa maju karena partnernya tidak ada kabar. Kelompokku? Aku tidak boleh maju karena tidak pernah bimbingan. Temanku sudah pernah aku ingatkan tapi dianya seperti agak "don't care". Aku sendiri paling gak bisa maksa orang, bisa pun itu tergantung orangnya. Dan akhirnya bingung kan waktu gini? Aku jadi korban, gara-gara temanku seperti itu.
Kemudian aku kena kompen. Kalau di kampusku, kompen itu membayar sejumlah uang gara-gara tidak mengikuti praktikum. Tapi tidak semua dosen mau dibayar seperti itu. Sebagian ada yang menyuruh melakukan sesuatu untuk prodi. Dan kemarin jumat, aku serta 5 mahasiswa lainnya membayarnya dengan membersihkan 2 lab dan urunan 20ribu untuk dibelikan kebutuhan lab dan dosen bersama. Karena memang saya kena kompen, yasudah lakukan saja seikhlasnya. Setelah membersihkan lab, aku ke lab TA, menemani kakak kelasku karena waktu itu dia sendirian. Aku tidak junior sendiri disitu, aku bersama 2 temanku, sebut saja Hera dan Usi. Jadi kita di lab TA hanya berempat. Mulanya kita membahas tentang TA seniorku. Setelah beberapa menit, kami pun terdiam. Lalu Hera memulai pembicaraan lagi dengan kata-kata yang memojokkanku. Dia bilang kalau aku jangan tidur aja dikelas. Padahal, semester 5 ini aku berusaha untuk tidak tidur waktu perkuliahan. Karena pada dasarnya aku sudah tidak suka dengan kata-kata yang dilontarkannya, yaudah aku dengerin aja, tp gk masuk ke otak. Dia hanya tahu apa yang terjadi padaku, tidak dengan apa yang aku lakukan. Mungkin dengan kata lain, Hera mengajak Usi untuk tidak berteman denganku, secara tersirat. Ya silahkan saja merebut teman yang sedang dekat denganku. Aku sudah hapal kelakuanmu. Iya kamu memang anak rumahan, makan lebih teratur, tidur lebih teratur. Aku iri? Sedikit. Aku iri dengan kecerdasanmu dan kebersamaanmu ketika bersama orang tua, tidak dengan sikap dan kata-kata pedas yang kau lontarkan. Asal kamu tahu saja, kalau aku diijinkan untuk tidak melanjutkan kuliah atau diijinkan masuk D3 Multimedia Broadcasting, mungkin aku tidak akan mengenalmu. Tapi tidak apa-apa, kamu hanya kumanfaatkan sebagai pelajaran agar aku bisa lebih baik dari yang kamu tahu. Sekarang mungkin kamu bisa mendapatkan nilai yang bagus sesuai keinginanmu dan memojokkanku seperti itu. Bukan aku tak mau mendapatkan nilai yang bagus, tapi bukankah itu bukan tujuan utama untuk kuliah? Setidaknya meskipun aku agak susah fokus dalam akademik, aku bisa belajar lebih banyak dari yang kamu dapatkan di luar akademik. Yah meskipun kamu gak akan melihatnya dan aku tidak akan menunjukkannya secara langsung, aku gak terlalu perlu dengan penilaianmu kok, orang lain bisa melihatnya disisi yang berbeda. Yang kritik dan sarannya lebih enak didengar meskipun cara penyampaiannya (mungkin) tidak benar menurutmu. Dari pada kritik pedasnya dilontarkan dengan emosi, percuma, tidak akan masuk diotakku.
Kemudian aku kena kompen. Kalau di kampusku, kompen itu membayar sejumlah uang gara-gara tidak mengikuti praktikum. Tapi tidak semua dosen mau dibayar seperti itu. Sebagian ada yang menyuruh melakukan sesuatu untuk prodi. Dan kemarin jumat, aku serta 5 mahasiswa lainnya membayarnya dengan membersihkan 2 lab dan urunan 20ribu untuk dibelikan kebutuhan lab dan dosen bersama. Karena memang saya kena kompen, yasudah lakukan saja seikhlasnya. Setelah membersihkan lab, aku ke lab TA, menemani kakak kelasku karena waktu itu dia sendirian. Aku tidak junior sendiri disitu, aku bersama 2 temanku, sebut saja Hera dan Usi. Jadi kita di lab TA hanya berempat. Mulanya kita membahas tentang TA seniorku. Setelah beberapa menit, kami pun terdiam. Lalu Hera memulai pembicaraan lagi dengan kata-kata yang memojokkanku. Dia bilang kalau aku jangan tidur aja dikelas. Padahal, semester 5 ini aku berusaha untuk tidak tidur waktu perkuliahan. Karena pada dasarnya aku sudah tidak suka dengan kata-kata yang dilontarkannya, yaudah aku dengerin aja, tp gk masuk ke otak. Dia hanya tahu apa yang terjadi padaku, tidak dengan apa yang aku lakukan. Mungkin dengan kata lain, Hera mengajak Usi untuk tidak berteman denganku, secara tersirat. Ya silahkan saja merebut teman yang sedang dekat denganku. Aku sudah hapal kelakuanmu. Iya kamu memang anak rumahan, makan lebih teratur, tidur lebih teratur. Aku iri? Sedikit. Aku iri dengan kecerdasanmu dan kebersamaanmu ketika bersama orang tua, tidak dengan sikap dan kata-kata pedas yang kau lontarkan. Asal kamu tahu saja, kalau aku diijinkan untuk tidak melanjutkan kuliah atau diijinkan masuk D3 Multimedia Broadcasting, mungkin aku tidak akan mengenalmu. Tapi tidak apa-apa, kamu hanya kumanfaatkan sebagai pelajaran agar aku bisa lebih baik dari yang kamu tahu. Sekarang mungkin kamu bisa mendapatkan nilai yang bagus sesuai keinginanmu dan memojokkanku seperti itu. Bukan aku tak mau mendapatkan nilai yang bagus, tapi bukankah itu bukan tujuan utama untuk kuliah? Setidaknya meskipun aku agak susah fokus dalam akademik, aku bisa belajar lebih banyak dari yang kamu dapatkan di luar akademik. Yah meskipun kamu gak akan melihatnya dan aku tidak akan menunjukkannya secara langsung, aku gak terlalu perlu dengan penilaianmu kok, orang lain bisa melihatnya disisi yang berbeda. Yang kritik dan sarannya lebih enak didengar meskipun cara penyampaiannya (mungkin) tidak benar menurutmu. Dari pada kritik pedasnya dilontarkan dengan emosi, percuma, tidak akan masuk diotakku.
Dan, menjadi orang positif dengan kecerdasan yang tidak menonjol itu lebih baik daripada orang yang suka mengeluh agar dirinya menonjol (terlihat cerdas), seperti kamu.
Maaf kalau kata-kataku lebih menusuk dari kata-katamu. Karena emosi yang ditunjukkan secara langsung itu menandakan kamu tidak dewasa.
Maaf kalau kata-kataku lebih menusuk dari kata-katamu. Karena emosi yang ditunjukkan secara langsung itu menandakan kamu tidak dewasa.
Dan untuk kamu Usi, aku memang bukan teman yang sempurna dan bisa membuatmu selalu bahagia, tapi dengan kelebihan dan kekurangan kita, kita akan menjadi teman yang sempurna.
Kamu itu sebenarnya dewasa, lebih dewasa dari aku malah. Tapi yang kamu perlukan agar dirimu menjadi sosok yang lebih dewasa adalah kamu perlu belajar dari apa yang telah terjadi kepadamu. Bukan hanya masalah yang mendewasakanmu, tapi juga dengan mensyukuri baik-buruk yang menimpamu, kamu akan menjadi sosok yang dewasa.
Karena ya beginilah hidup, terkadang diatas, terkadang pula dibawah. Terkadang pula ketika kamu diatas langsung jatuh kebawah. Terkadang kamu akan jatuh secara perlahan kebawah. Begitu juga sebaliknya.
Kamu itu sebenarnya dewasa, lebih dewasa dari aku malah. Tapi yang kamu perlukan agar dirimu menjadi sosok yang lebih dewasa adalah kamu perlu belajar dari apa yang telah terjadi kepadamu. Bukan hanya masalah yang mendewasakanmu, tapi juga dengan mensyukuri baik-buruk yang menimpamu, kamu akan menjadi sosok yang dewasa.
Karena ya beginilah hidup, terkadang diatas, terkadang pula dibawah. Terkadang pula ketika kamu diatas langsung jatuh kebawah. Terkadang kamu akan jatuh secara perlahan kebawah. Begitu juga sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar